Dia duduk di depanku. Memandangku jijik. Tatapannya membelah pikiranku, memilah-
Aku benci keadaan ini, setelah aku menghindari dirinya selama mungkin. Aku kehilangan kata-kata untuk membuat diriku berada di atas perbincangan dengannya. Akhirnya aku hanya terpaksa diam, dan mempersilahkannya untuk memimpin jalannya perbincangan sepihak ini. namun, saat ini kebisuan melayang di atas perasaan kami. Aku dan dia terdiam.
Alasan yang kupunya untuk tetap diam, amat sangat kuat. Aku berhak diam, bahkan wajib untuk diam. Tindakanku padanya yang memaksaku untuk diam. Alasan yang konyol tentunya, aku hanya takut mencintainya lagi. Seperti dulu, seperti saat aku benar-benar dipenuhi oleh bayangannya, aromanya, dan senyumnya. Dan sesaat aku mencintainya, aku terdampar di pojok keputus-asaan. Tidak ada sebuah celah bernama kesempatan untukku. Oleh karena itu, aku diam. Diam dalam perasaanku, dan diam untuk mengakui kekalahanku.
Pilihanku saat ini masih sama, menunggu dia untuk berbicara denganku, atau tetap diam. Sejauh ini, dan dari perkembangan situasi yang kulihat. Belum ada pertanda dia akan membuka kata kata pengantar. Seperti “halo”, “apa kabar”, atau bahkan sekedar gumaman seperti “hmm”, “huh”, atau “dah”. Yang ada hanya tatapan mengancam.
Dulu aku terpesona akan tatapannya, tatapan matanya yang indah. Rangkaian alisnya yang menggantung di atas kedua matanya, membentuk sebuah ekspresi baru di wajahnya. Belum lagi warna matanya yang memikatku. Sungguh, aku terpesona akan segala hal darinya. Saat aku berbincang dengannya. Saat aku melihatnya berjalan dan menatap dunia. Aku suka tingkahnya.
Aku terpaku saat ini. malu akan diriku sendiri. Bahkan disaat seperti ini, aku masih bisa terpesona dengan dirinya. Masih bisa mengingat dirinya, dan lekuk karakternya. Biarkan saja dia pernah berbicara jahat tentangku. Aku memang jahat, aku memang bajingan, aku memang tidak sebanding dengannya. Oleh karena itu, aku tetap diam.
“kamu mau kemana ?”, dia mengiringi kalimatnya dengan senyuman tipis. Persis seperti kebiasaanya saat bicara dengan orang lain.
Aku memandangnya.
“oh, Cuma cari angin…”, aku berharap dia menanggapi jawabanku.
Dia terdiam.
Aku merasa bodoh. Memikirkan jawaban apa yang bisa kuraih, setelah aku mengeluarkan pernyataan kurang angin tersebut.
“tapi aku ga lihat toko ban tuh, apalagi di mall kayak gini”, jawabannya menggelitik perutku.
“kadang, ban juga butuh servis berkala.”, aku menimpali pernyataannya.
“hmm, jadi apa kabarnya ban ?”, pertanyaan yang sedikit menggigit diriku.
“yeah, kalo ban itu berarti aku, yah… agak kempis sedikit deh.”, Kujawab dengan cepat.
Pesanan minum kami berdua datang. Aroma kopi yang dikeluarkan dari minuman hitam itu menghipnotisku. Sedikit mencairkan rasa aneh berhadapan dengan Shina. Aku mulai terbiasa, dan tersembuh dari kebisuan.
“jadi, bagaimana ? masih ? sama si… itu.”, aku mengeluarkan pertanyaan yang sudah kutahu jawabannya.
Sungguh bodoh, tidak seharusnya aku mengeluarkan pertanyaan itu. sekalipun aku terhipnotis oleh aroma kopi, aku tidak seharusnya menjadi bodoh. Aku ingin berteriak saat ini.
“oh, masih kok.”, jawaban singkat yang tidak bernada. Sebuah respon yang telah kuduga. Aku salah langkah, dia pasti merasa risih denganku. Merasa bahwa hatiku masih sama seperti dulu. Menanti dirinya, menanti sebuah celah kecil untuk kuhancurkan. Dan otomatis, setelah dia tahu aku masih menanti dirinya. Dia akan menjaga sebuah celah itu sepenuh hatinya, agar tidak mengundangku masuk.
“aku sudah lama enggak lihat kamu lo, terakhir kita ketemu di perpisahan, habis itu kabarmu hilang gitu aja.”, Shina berbicara lagi padaku. Aku sedikit terhibur dengan perkataannya.
“kan udah aku bilang, kadang ban perlu servis berkala.”, aku mencoba membuat lelucon baru.
“aku enggak nyangka aja bisa ketemu kamu di tempat kayak gini, rasanya aneh aja.”, aku sedikit kecewa, leluconku dianggap angin lalu baginya. Tapi aku tetap saja tertarik dengan perkataannya.
“lho, kenapa ga nyangka ? waktu kan uda berjalan 5 tahun dari waktu kita SMA…semuanya bisa berubah”, aku menjawab pertanyaannya. Dengan sedikit penekanan.
“ya… tapi tetep aja terasa aneh gitu.”, dia mengeluarkan pernyataan singkat, dan melihat jam tangannya.
“ada apa ?”, aku bertanya padanya.
“maaf, tapi aku ada janji dengan seseorang. Kapan-kapan kita ketemu lagi aja.”, pernyataannya yang pertama membuatku kecewa, tapi pernyataannya yang kedua membuatku meloncat.
“tentu, kapan ?”, jawabku tanpa basa-basi.
“aku akan menghubungimu. Bye.”, dia menghirup sedikit kopinya, dan menyelesaikan perbincangan denganku.
Itu pertama kali aku bertemu dengannya. Setelah 5 tahun menghindar darinya.
Suhu dalam mobil terasa nyaman bagiku. Cuaca di luar sangat bersahabat. Pengendara motor tampak berjubel dalam padatnya jalanan kota. Awan terbang melintasi kota, menimbulkan suasana baru yang hangat. Membawaku ke dalam kenangan sesaat. Yang memberikanku aroma itu, suasana lima tahun yang lalu.
Dulu, semua berakhir di malam perpisahan. Kenangan masa SMA akan mencapai titik pusatnya di momen itu. Semua orang terharu, mengingat mereka harus mencapai masa depannya. Mengingat mereka harus meninggalkan ritual tidak penting, yang mereka sukai saat SMA. Dan mengingat kisah klasik di gedung itu. Gedung yang sebenarnya menjemukan saat sekolah, gedung yang sebenarnya ingin kita tinggalkan. Namun saat perpisahan, semua terasa melekat di tempat itu. itulah rumah kita. Pembentuk pribadi dan kisah kita berikutnya.
Malam perpisahan itu juga yang membuatku tertambat dalam kisahku sendiri. Aku melihat begitu saja, Shina tentunya. Dia mendapatkannya, seseorang yang telah lama dia suka. Atau sayang. Atau bahkan cintai. Dia terlihat begitu senang, tersenyum dengan indahnya. Senyum yang tidak pernah bisa aku dapatkan saat berbicara denganku. Saat dia melihatku, dan menatapku dengan matanya yang indah, dia hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali.
Aku tidak mundur begitu saja. aku masih mempertahankan perasaanku. Aku mencoba mendekatinya, menggali hatinya, dan mencoba membuat senyuman itu untukku. Aku berubah, aku merubah diriku menjadi lebih baik. Mengakrabkan diri pada hal-hal yang dulu kubenci. Menjadikan segalanya memihakku. Mengundang senyum di wajahnya. Senyum. Sebuah senyuman untukku.
Hal itu sedikit berhasil. Setidaknya menurutku sedikit berhasil. Dia mau membuka hatinya untukku, keluh-kesahnya dia tuangkan untukku, dia rangkum menjadi satu rangkaian kata yang menidurkanku, dalam ilusi singkat tentang dirinya. Dia tidak tahu, bahwa saat aku berbicara dengannya, saat dia menularkan perasaannya. Aku selalu memandang erat matanya, menggali lebih dalam lagi, apakah aku ada di bola matanya ?
Dia berbicara padaku berjam-jam lamanya saat itu. melalaikan tugas yang ada, dan hanya berbicara denganku. Saat kutanyakan apa yang membuatnya bisa membuka perasaannya padaku, dia hanya menjawab.
“kamu membuatku nyaman untuk bercerita”
Dia tidak pernah tahu. Bahwa aku memang selalu ada untuknya, aku memang ingin mendengarkan keluhannya, memandang masalahnya, agar dia bisa tersenyum padaku.
Dan saat dia mulai tersenyum.
aku menyayanginya. Dari segala sisinya, dan dari kelemahannya.
Aku hanya terlanjur terikat dengan hal ini.
Tapi, kenyataan mengusirku jauh darinya. Dia yang sudah memiliki seseorang. Tidak akan bisa menerima kehadiranku. Aku tidak punya kesempatan.
Dan setelah itu, aku pun mulai mencari banyak perantauan selainnya, mulai tidak memahami apa arti sebenarnya dari mencintai seseorang, dan mulai melompati batas. Aku hanya yakin, bahwa aku melakukan itu untuk melupakannya, untuk membiarkannya tersenyum pada seseorang lain. Aku benci seperti ini.
Dan benar, dia mengetahui perbuatanku. Perbuatan yang sangat tidak ditolerir oleh Shina. Dia benci dengan seseorang yang mempermainkan perasaan. Dan itu aku. Wajar kalau dia menutup dirinya dariku, agar bajingan sepertiku tidak menyakitinya juga.
Akhirnya, dia memandangku salah. Hanya salah. Akulah seorang yang salah. Yang tidak boleh lagi hadir dalam mimpinya.
Dan aku menghilang darinya 5 tahun yang lalu.
1 bulan setelah pertemuan dengan Shina, tidak ada yang terjadi.
Aku masih hidup ditengah bayangannya. Bingung dengan keberadaannya dan perasaannya sebenarnya. Aku mau tahu apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini, dan sekali lagi menelisik hatinya.
“pip”, telepon genggam milikku berbunyi lemah.
Aku tersenyum.
Merasa kesal karena menunggu, sudah sering terjadi padaku. Aku hanya tidak suka momen momen mendebarkan seperti ini. aku hanya suka menunggu sesuatu yang sudah pasti. Meskipun aku senang bertemu dengan Shina, tapi aku lebih senang apabila dia lebih menghargai waktu.
Aku tersenyum kecil.
Aku melupakan satu hal yang sering dilakukannya, dia memang agak tidak menghargai waktu. Sebuah kebiasaan kecil, yang tak kusangka. Belum ditinggalkan dari identitasnya. Lag-lagi aku kalah oleh memoriku sendiri. Bodoh.
Dua cangkir kopi yang kupesan sudah datang. Aku merasa bodoh menunggu sendirian di tempat ini. Shina belum datang juga.
Kulihat di cangkir milik Shina, terdapat sebuah amplop kecil. Sarafku bergeliat. Kuambil amplop itu. aku melihat sekeliling.
Kemudian melihat tulisan di amplop itu.
Keadaan ini menjurus ke sesuatu yang rasanya buruk. Aku juga benci keadaan seperti ini suatu keadaan yang memaksa kita menebak-nebak, apa yang sedang terjadi saat ini.
Kubuka amplop kecil itu, dan kukeluarkan surat di dalamnya.
Hatiku berdegup kencang.
Aku menggigit kuku tanganku. Mencoba mencari pelampiasan akan perasaanku saat ini. hatiku hancur membaca penggalan pertama dari surat ini. aku merasa ada sesuatu yang meleleh di mataku. Tapi aku mencoba melanjutkan kisah ini.
Aku terhenyak sesaat. Tidak sanggup membaca lanjutan surat itu. takut untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan dari kata kata dan guratan yang ditulisnya sendiri. Aku terjebak di kalimat ini.
Entah kenapa, meski aku takut. Huruf –huruf ini begitu membiusku untuk lebih terjebak dalam suasananya. Dan sekali lagi aku masuk ke dalam lingkupannya.
Tanpa sadar, aku menelan ludah.
Aku kembali menghela nafas. Menghirup kopi pesananku yang sudah tidak lagi hangat. Rasa pahit kopi itu menyadarkanku. Selama ini aku melakukan kesalahan besar. Aku terlalu sibuk melindungi diriku sendiri. Tidak pernah aku mencoba memperhatikan Shina lagi. Dalam perjalanan selama 5 tahun ini, satu yang baru kusadari. Aku tidak melakukan apapun untuk seseorang yang kusayang, dan kucintai sepenuh hati. Aku hanya sebuah debu yang menghindar dari kenyataan abadi. Kenyataan bahwa seharusnya aku harus menjaganya, menjaganya dari balik kegelapan. Kegelapan yang tidak akan bisa dilihatnya dari sisi terangnya. Menjaganya dari tempat yang khusus, dan sesuatu waktu, aku bisa menyediakan tempat untuknya. Saat dia merasa sendiri, dan saat hatinya bisa terbuka untukku.
Aku melanjutkan membaca surat itu. Surat yang membuatku merasa berlubang.
Aku tersenyum. Kalimat terakhir yang kubaca di surat ini. Mulai membuatku melambung tinggi. Jauh dibawa ke dalam pusaran kata menggetarkan, menghipnotisku lebih dalam lagi. Tenggelam dalam suasana.
Alasan yang kupunya untuk tetap diam, amat sangat kuat. Aku berhak diam, bahkan wajib untuk diam. Tindakanku padanya yang memaksaku untuk diam. Alasan yang konyol tentunya, aku hanya takut mencintainya lagi. Seperti dulu, seperti saat aku benar-benar dipenuhi oleh bayangannya, aromanya, dan senyumnya. Dan sesaat aku mencintainya, aku terdampar di pojok keputus-asaan. Tidak ada sebuah celah bernama kesempatan untukku. Oleh karena itu, aku diam. Diam dalam perasaanku, dan diam untuk mengakui kekalahanku.
Pilihanku saat ini masih sama, menunggu dia untuk berbicara denganku, atau tetap diam. Sejauh ini, dan dari perkembangan situasi yang kulihat. Belum ada pertanda dia akan membuka kata kata pengantar. Seperti “halo”, “apa kabar”, atau bahkan sekedar gumaman seperti “hmm”, “huh”, atau “dah”. Yang ada hanya tatapan mengancam.
Dulu aku terpesona akan tatapannya, tatapan matanya yang indah. Rangkaian alisnya yang menggantung di atas kedua matanya, membentuk sebuah ekspresi baru di wajahnya. Belum lagi warna matanya yang memikatku. Sungguh, aku terpesona akan segala hal darinya. Saat aku berbincang dengannya. Saat aku melihatnya berjalan dan menatap dunia. Aku suka tingkahnya.
Aku terpaku saat ini. malu akan diriku sendiri. Bahkan disaat seperti ini, aku masih bisa terpesona dengan dirinya. Masih bisa mengingat dirinya, dan lekuk karakternya. Biarkan saja dia pernah berbicara jahat tentangku. Aku memang jahat, aku memang bajingan, aku memang tidak sebanding dengannya. Oleh karena itu, aku tetap diam.
“kamu mau kemana ?”, dia mengiringi kalimatnya dengan senyuman tipis. Persis seperti kebiasaanya saat bicara dengan orang lain.
Aku memandangnya.
“oh, Cuma cari angin…”, aku berharap dia menanggapi jawabanku.
Dia terdiam.
Aku merasa bodoh. Memikirkan jawaban apa yang bisa kuraih, setelah aku mengeluarkan pernyataan kurang angin tersebut.
“tapi aku ga lihat toko ban tuh, apalagi di mall kayak gini”, jawabannya menggelitik perutku.
“kadang, ban juga butuh servis berkala.”, aku menimpali pernyataannya.
“hmm, jadi apa kabarnya ban ?”, pertanyaan yang sedikit menggigit diriku.
“yeah, kalo ban itu berarti aku, yah… agak kempis sedikit deh.”, Kujawab dengan cepat.
Pesanan minum kami berdua datang. Aroma kopi yang dikeluarkan dari minuman hitam itu menghipnotisku. Sedikit mencairkan rasa aneh berhadapan dengan Shina. Aku mulai terbiasa, dan tersembuh dari kebisuan.
“jadi, bagaimana ? masih ? sama si… itu.”, aku mengeluarkan pertanyaan yang sudah kutahu jawabannya.
Sungguh bodoh, tidak seharusnya aku mengeluarkan pertanyaan itu. sekalipun aku terhipnotis oleh aroma kopi, aku tidak seharusnya menjadi bodoh. Aku ingin berteriak saat ini.
“oh, masih kok.”, jawaban singkat yang tidak bernada. Sebuah respon yang telah kuduga. Aku salah langkah, dia pasti merasa risih denganku. Merasa bahwa hatiku masih sama seperti dulu. Menanti dirinya, menanti sebuah celah kecil untuk kuhancurkan. Dan otomatis, setelah dia tahu aku masih menanti dirinya. Dia akan menjaga sebuah celah itu sepenuh hatinya, agar tidak mengundangku masuk.
“aku sudah lama enggak lihat kamu lo, terakhir kita ketemu di perpisahan, habis itu kabarmu hilang gitu aja.”, Shina berbicara lagi padaku. Aku sedikit terhibur dengan perkataannya.
“kan udah aku bilang, kadang ban perlu servis berkala.”, aku mencoba membuat lelucon baru.
“aku enggak nyangka aja bisa ketemu kamu di tempat kayak gini, rasanya aneh aja.”, aku sedikit kecewa, leluconku dianggap angin lalu baginya. Tapi aku tetap saja tertarik dengan perkataannya.
“lho, kenapa ga nyangka ? waktu kan uda berjalan 5 tahun dari waktu kita SMA…semuanya bisa berubah”, aku menjawab pertanyaannya. Dengan sedikit penekanan.
“ya… tapi tetep aja terasa aneh gitu.”, dia mengeluarkan pernyataan singkat, dan melihat jam tangannya.
“ada apa ?”, aku bertanya padanya.
“maaf, tapi aku ada janji dengan seseorang. Kapan-kapan kita ketemu lagi aja.”, pernyataannya yang pertama membuatku kecewa, tapi pernyataannya yang kedua membuatku meloncat.
“tentu, kapan ?”, jawabku tanpa basa-basi.
“aku akan menghubungimu. Bye.”, dia menghirup sedikit kopinya, dan menyelesaikan perbincangan denganku.
Itu pertama kali aku bertemu dengannya. Setelah 5 tahun menghindar darinya.
……….
Suhu dalam mobil terasa nyaman bagiku. Cuaca di luar sangat bersahabat. Pengendara motor tampak berjubel dalam padatnya jalanan kota. Awan terbang melintasi kota, menimbulkan suasana baru yang hangat. Membawaku ke dalam kenangan sesaat. Yang memberikanku aroma itu, suasana lima tahun yang lalu.
Dulu, semua berakhir di malam perpisahan. Kenangan masa SMA akan mencapai titik pusatnya di momen itu. Semua orang terharu, mengingat mereka harus mencapai masa depannya. Mengingat mereka harus meninggalkan ritual tidak penting, yang mereka sukai saat SMA. Dan mengingat kisah klasik di gedung itu. Gedung yang sebenarnya menjemukan saat sekolah, gedung yang sebenarnya ingin kita tinggalkan. Namun saat perpisahan, semua terasa melekat di tempat itu. itulah rumah kita. Pembentuk pribadi dan kisah kita berikutnya.
Malam perpisahan itu juga yang membuatku tertambat dalam kisahku sendiri. Aku melihat begitu saja, Shina tentunya. Dia mendapatkannya, seseorang yang telah lama dia suka. Atau sayang. Atau bahkan cintai. Dia terlihat begitu senang, tersenyum dengan indahnya. Senyum yang tidak pernah bisa aku dapatkan saat berbicara denganku. Saat dia melihatku, dan menatapku dengan matanya yang indah, dia hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali.
Aku tidak mundur begitu saja. aku masih mempertahankan perasaanku. Aku mencoba mendekatinya, menggali hatinya, dan mencoba membuat senyuman itu untukku. Aku berubah, aku merubah diriku menjadi lebih baik. Mengakrabkan diri pada hal-hal yang dulu kubenci. Menjadikan segalanya memihakku. Mengundang senyum di wajahnya. Senyum. Sebuah senyuman untukku.
Hal itu sedikit berhasil. Setidaknya menurutku sedikit berhasil. Dia mau membuka hatinya untukku, keluh-kesahnya dia tuangkan untukku, dia rangkum menjadi satu rangkaian kata yang menidurkanku, dalam ilusi singkat tentang dirinya. Dia tidak tahu, bahwa saat aku berbicara dengannya, saat dia menularkan perasaannya. Aku selalu memandang erat matanya, menggali lebih dalam lagi, apakah aku ada di bola matanya ?
Dia berbicara padaku berjam-jam lamanya saat itu. melalaikan tugas yang ada, dan hanya berbicara denganku. Saat kutanyakan apa yang membuatnya bisa membuka perasaannya padaku, dia hanya menjawab.
“kamu membuatku nyaman untuk bercerita”
Dia tidak pernah tahu. Bahwa aku memang selalu ada untuknya, aku memang ingin mendengarkan keluhannya, memandang masalahnya, agar dia bisa tersenyum padaku.
Dan saat dia mulai tersenyum.
aku menyayanginya. Dari segala sisinya, dan dari kelemahannya.
Aku hanya terlanjur terikat dengan hal ini.
Tapi, kenyataan mengusirku jauh darinya. Dia yang sudah memiliki seseorang. Tidak akan bisa menerima kehadiranku. Aku tidak punya kesempatan.
Dan setelah itu, aku pun mulai mencari banyak perantauan selainnya, mulai tidak memahami apa arti sebenarnya dari mencintai seseorang, dan mulai melompati batas. Aku hanya yakin, bahwa aku melakukan itu untuk melupakannya, untuk membiarkannya tersenyum pada seseorang lain. Aku benci seperti ini.
Dan benar, dia mengetahui perbuatanku. Perbuatan yang sangat tidak ditolerir oleh Shina. Dia benci dengan seseorang yang mempermainkan perasaan. Dan itu aku. Wajar kalau dia menutup dirinya dariku, agar bajingan sepertiku tidak menyakitinya juga.
Akhirnya, dia memandangku salah. Hanya salah. Akulah seorang yang salah. Yang tidak boleh lagi hadir dalam mimpinya.
Dan aku menghilang darinya 5 tahun yang lalu.
……….
1 bulan setelah pertemuan dengan Shina, tidak ada yang terjadi.
Aku masih hidup ditengah bayangannya. Bingung dengan keberadaannya dan perasaannya sebenarnya. Aku mau tahu apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini, dan sekali lagi menelisik hatinya.
“pip”, telepon genggam milikku berbunyi lemah.
“hei, jam 5 sore di mall kemarin,
Di kafe yang sama,
Di meja yang sama,”
-Shina
Di kafe yang sama,
Di meja yang sama,”
-Shina
Aku tersenyum.
“oke”
- message sent
- message sent
……….
Merasa kesal karena menunggu, sudah sering terjadi padaku. Aku hanya tidak suka momen momen mendebarkan seperti ini. aku hanya suka menunggu sesuatu yang sudah pasti. Meskipun aku senang bertemu dengan Shina, tapi aku lebih senang apabila dia lebih menghargai waktu.
Aku tersenyum kecil.
Aku melupakan satu hal yang sering dilakukannya, dia memang agak tidak menghargai waktu. Sebuah kebiasaan kecil, yang tak kusangka. Belum ditinggalkan dari identitasnya. Lag-lagi aku kalah oleh memoriku sendiri. Bodoh.
Dua cangkir kopi yang kupesan sudah datang. Aku merasa bodoh menunggu sendirian di tempat ini. Shina belum datang juga.
Kulihat di cangkir milik Shina, terdapat sebuah amplop kecil. Sarafku bergeliat. Kuambil amplop itu. aku melihat sekeliling.
Kemudian melihat tulisan di amplop itu.
“seseorang yang sedang menungguku, tolong baca surat ini”
-Shina
-Shina
Keadaan ini menjurus ke sesuatu yang rasanya buruk. Aku juga benci keadaan seperti ini suatu keadaan yang memaksa kita menebak-nebak, apa yang sedang terjadi saat ini.
Kubuka amplop kecil itu, dan kukeluarkan surat di dalamnya.
Hatiku berdegup kencang.
“sejak saat aku memulai semuanya dengannya, aku tahu aku akan mendapat sesuatu yang berbeda darinya. Senyumnya yang memikat, selalu menghiburku disaat aku terjatuh atau lumpuh karena masalah. Sifatnya yang cerah dan selalu memberi pengaruh bagiku membuat hatiku menjadi nyaman saat berada didekatnya. Apa kamu tahu ? aku sudah begitu mencintainya hingga aku rela menutup hatiku untukmu.”
Aku menggigit kuku tanganku. Mencoba mencari pelampiasan akan perasaanku saat ini. hatiku hancur membaca penggalan pertama dari surat ini. aku merasa ada sesuatu yang meleleh di mataku. Tapi aku mencoba melanjutkan kisah ini.
“aku tahu bahwa kamu menyayangiku. Aku juga tahu bahwa akulah perhentianmu. Ibarat sebuah kapal yang menginginkan pelabuhan untuk merapat, dan menjalani hidup sebenarnya. Aku sangat tahu.”
“dulu kamu pernah bilang, untuk apa aku meneruskan hubunganku dengannya apabila hubungan ini hanya membuatku sedih. Dan aku jujur berkata, aku menyayanginya.
Aku memang sangat menyayanginya.”
Aku memang sangat menyayanginya.”
“tapi kamu tahu ? tepat setelah kamu mundur dariku…
Aku terhenyak sesaat. Tidak sanggup membaca lanjutan surat itu. takut untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan dari kata kata dan guratan yang ditulisnya sendiri. Aku terjebak di kalimat ini.
Entah kenapa, meski aku takut. Huruf –huruf ini begitu membiusku untuk lebih terjebak dalam suasananya. Dan sekali lagi aku masuk ke dalam lingkupannya.
...dia”
Tanpa sadar, aku menelan ludah.
“wafat, karena kecelakaan mobil.”
“sungguuh tragis hidupnya, ayah dan ibunya masih selamat dalam peristiwa itu. namun dia dan kedua adiknya ternyata ditakdirkan untuk bertemu Sang Pencipta.”
“aku sempat kehilangan arah saat itu. aku berjuang, SENDIRIAN untuk memaku ulang dan menata perasaanku. Aku menangis dan menangis. Dia terlalu baik untukku, dan aku terlalu menyayanginya. Aku hancur saat itu.”
Aku kembali menghela nafas. Menghirup kopi pesananku yang sudah tidak lagi hangat. Rasa pahit kopi itu menyadarkanku. Selama ini aku melakukan kesalahan besar. Aku terlalu sibuk melindungi diriku sendiri. Tidak pernah aku mencoba memperhatikan Shina lagi. Dalam perjalanan selama 5 tahun ini, satu yang baru kusadari. Aku tidak melakukan apapun untuk seseorang yang kusayang, dan kucintai sepenuh hati. Aku hanya sebuah debu yang menghindar dari kenyataan abadi. Kenyataan bahwa seharusnya aku harus menjaganya, menjaganya dari balik kegelapan. Kegelapan yang tidak akan bisa dilihatnya dari sisi terangnya. Menjaganya dari tempat yang khusus, dan sesuatu waktu, aku bisa menyediakan tempat untuknya. Saat dia merasa sendiri, dan saat hatinya bisa terbuka untukku.
Aku melanjutkan membaca surat itu. Surat yang membuatku merasa berlubang.
“aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya bisa memandang matahari lagi. Aku lupa hawa dingin di pagi hari. Dan aku lupa apa rasanya menyayangi seseorang.”
“hingga sekitar beberapa saat yang lalu, aku bertemu denganmu. Aku tidak tahu bagaimana bisa perasaanku menjadi seperti ini. aku kembali “berbunga”. Kamu telah berhasil mengembalikan saat-saat kita 5 tahun yang lalu. Hanya dalam hitungan menit, aku dan kamu duduk bersama. Kau telah kembali membuatku nyaman berbicara denganmu.”
Aku tersenyum. Kalimat terakhir yang kubaca di surat ini. Mulai membuatku melambung tinggi. Jauh dibawa ke dalam pusaran kata menggetarkan, menghipnotisku lebih dalam lagi. Tenggelam dalam suasana.
“satu hal yang aku sesali. Kenapa kamu datang begitu terlambat ? kemana kamu selama ini ? selama sisa waktu yang aku punya ? kemana kamu ?”
“maafkan aku. Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah pergi ke Perancis saat kamu membaca surat ini. Pesawatku berangkat 2 hari yang lalu. Aku menitipkan surat ini pada ayahku. Kamu tentu masih ingat ayahku kan ?”
“Maafkan aku, aku sudah lama memutuskan ingin melanjutkan studiku di sana. Aku sudah tidak mempunyai harapan lagi, apabila berada disini. Aku tidak yakin, meskipun aku sudah bertemu denganmu. Aku takut dengan nasibku sendiri. Oleh karena itu, aku tidak memberi tahu keadaanku padamu.”
“maafkan aku. Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah pergi ke Perancis saat kamu membaca surat ini. Pesawatku berangkat 2 hari yang lalu. Aku menitipkan surat ini pada ayahku. Kamu tentu masih ingat ayahku kan ?”
“Maafkan aku, aku sudah lama memutuskan ingin melanjutkan studiku di sana. Aku sudah tidak mempunyai harapan lagi, apabila berada disini. Aku tidak yakin, meskipun aku sudah bertemu denganmu. Aku takut dengan nasibku sendiri. Oleh karena itu, aku tidak memberi tahu keadaanku padamu.”
Seketika aku langsung menunduk resah. Air mataku mengalir membasahi kemejaku. Kopi pesananku tak lagi layak diminum. Semuanya di dunia ini, menjadi terlihat buram.
“surat ini, kutujukan untukmu. Untuk seseorang yang kutahu, dalam lima tahun terakhir ini menghilang demi diriku. Aku bukan terlalu percaya diri. Aku hanya yakin bahwa kamu masih menyayangiku. Sampai setiap rambutmu berwarna putih, aku yakin bahwa kamu menyayangiku.”
“surat ini kubuat untukmu. Untuk menyelesaikan sesuatu yang tertinggal. Dan untuk membuat sebuah janji baru.”
“berjanjilah, bahwa kamu akan belajar untuk menungguku. Dan aku akan selalu tersenyum untukmu. Dan turut menantimu. Demi semua kata-kataku.”
-Shina
Aku tercekat. Aku membisu.
Tetesan terakhir dari air mataku telah hilang. Aku telah menyapunya. Kini dunia tidak lagi buram. Tapi jauh lebih buram dari apapun.
Duniaku selama ini, ternyata hanya terpikat pada perjalanan waktu 5 tahun ini.
Segalanya benar benar bisa berubah. Dan segalanya bisa terjadi.
Kali ini, aku memandang matahari melalui jendela. Dia bersinar terang, sedikit menyilaukan mataku. Sebuah cahaya terang yang menembus memoriku. Menyinari bagian kelam masa laluku. Menekankan bagian-bagian yang menandakan posisiku dengan Shina.
Kemudian, langit membakar matahari. Dan terganti oleh ribuan bintang dan nyanyian orang mati. Bangkit dari penjaranya, dan mengucapkan selamat tinggal padaku.
Selamat tinggal Shina.
~Aris Lazuardi
1 comment:
o my god!
it's brilliant!
gile pilihan kata2nya ris...
mantap!
Post a Comment