ini salah satu cerpenku...
yang... pernah masuk majalah sekolah...
ga tau si bagus apa ngga...
tapi yah... biar kalian juga baca... dan kasi kommentnya lewat fs...
kalo jelek, aku nyerah nulis dah... hahaha
well, ini dia...
Anak Trotoar
Jam di perempatan Suci tempatku tinggal, menunjukkan pukul 7 pagi. Sudah------------------------------------------------------------------------------------------------
banyak kendaraan yang melintas dari tadi. Asap kendaraanlah yang
membangunkanku dari mimpiku yang bisa dibilang indah, untuk seorang
gelandangan sepertiku yang tidur beralaskan trotoar. Trotoar, bukan ranjang seperti
yang ada dalam mimpiku tadi. Sedikit mimpi bisa membantuku kembali
bersemangat menjalani hari. Dulu aku pernah ingin mencoba bunuh diri, setelah aku
merasa tak kuat lagi menanggung semua beban. Tapi aku ingat akan perkataan
kedua orang tuaku, di hari mereka pergi meninggalkanku. Aku tidak lahir dari batu,
aku pernah punya orang tua, meskipun hanya 8 tahun aku merasakannya.
Sebelum aku meneteskan lagi air mataku, aku memutuskan tidak mengingat
lagi kejadian itu, aku ga mau trotoar ini basah karena air mataku. Maklum, trotoar ini
rumahku yang ga mau aku kotori. aku juga pernah punya rumah. Rumah yang tidak
terlalu besar, tapi cukup untuk ditinggali keluargaku yang jumlahnya 4 orang. Bapak,
ibu, aku, sama adikku. Hingga suatu hari sang jago merah melahap semuanya
sampai tidak tersisa barang setitikpun. Tapi, jangan pikir kedua orangtuaku mati
dalam kejadian itu. Kami semua baik-baik saja, hanya ibuku yang sedikit bermasalah.
Semenjak hari itu, ibuku ngotot minta kembali ke kampungnya di Kintamani. dia
tidak kuat hidup susah di kota. Maklum, ibuku dibesarkan oleh kakekku dengan
berkecukupan. kakekku adalah seorang pemuka adat di desanya, sedangkan
keluarga ayahku hanyalah petani buruh yang bekerja mengerjakan sawah keluarga
ibuku. Entah mengapa, ibuku jatuh cinta dengan ayahku. Saat mereka berdua
menikah, banyak orang di kampung meremehkan ayahku, mereka ragu ayahku bisa
menghidupi ibuku yang dari kecil hidupnya sudah enak. Didorong akan hal itu,
ayahku langsung mengajak ibuku tinggal di kota. Ayah berhasil kerja di perusahaan
pengiriman barang dan menduduki jabatan yang cukup penting di perusahaan itu.
Satpam.
Ayahku memberikan izin pada ibuku untuk kembali ke kampungnya, karena
ayahku juga merasa tidak kuat lagi tinggal di kota ini. Ayahku mengantarkan ibuku
kembali ke Kintamani, sedangkan aku dan adikku ditinggal di motel yang disewa
ayahku selama 2 hari. Sebelum berangkat, ayahku berpesan kepadaku untuk selalu
menjaga adikku dengan baik.
Aku sudah keluar dari motel itu, diusir. Sudah 7 hari aku menungggu
kedatangan ayahku. Aku bingung enggak tau harus ngapain waktu itu. Aku jalan aja
sama adikku pergi ke jalan Gajah Mada. Lapar. Aku minta-minta sama orang yang
aku liat bawa makanan. Aku ceritain sama mereka apa yang aku ama adikku alami.
Cuma sedikit yang ngasi aku uang. Tapi lumayan, buat ngisi perutku ama adikku.
Sekedar nyari kerjaan, aku liat kiri kanan. Ada Koran bekas yang masih bagus buat
dibaca. Sambil setengah nangis, aku baca lembar per lembar, artikel per artikel.
Sampai aku ngelihat nama ayahku dipampang di Koran itu,” ditemukan meninggal
karena bunuh diri bersama istrinya di daerah sekitar Kerobokan, Denpasar.”
Rumahku yang berada di kawasan Kerobokan memang telah hancur terlalap
api, entah kenapa ayahku ingin mengakhiri hidupnya disana. Mungkin bagi ayahku,
rumah itu memiliki kenangan yang sangat dalam. Tapi sedalam apa kenangan itu
sehingga ayahku tega meninggalkan aku dan adikku sendirian di dunia ini. Aku
menaiki tangga di pasar Badung dan aku melihat sudut kecil yang mungkin cukup
untuk kutinggali bersama adikku. Memang, pas sekali buatku dan adikku. Saat
kutengok ke bawah, aku melihat aliran sungai tukad Badung yang cukup deras. Ingin
sekali aku meloncat ke bawah sana dan merasakan pemandangan terakhir sebelum
mati. Tanpa sadar, kakiku sudah menaiki tembok dan bersiap meloncat. AKU
BENAR-BENAR INGIN LONCAT. Suara aliran sungai yang deras membuat
jantungku semakin cepat berdetak. Tinggal satu langkah, dan aku akan menemui
ayah dan ibu. Lama aku berpikir. Sudut pasar badung ini benar benar sempurna,
tidak ada yang bisa melihatmu saat berdiri di tembok ini, karena didepanku ada
terpal yang menutupi sudut ini agar tidak panas saat siang hari. Aku turun dari
tembok itu. Kembali aku sadar bahwa aku tidak sendirian, aku harus menjaga
adikku.
Sekarang, pagi ini, adikku sudah tiada, dia pergi entah kemana. Terakhir aku
melihatnya ditabrak mobil, dan dikremasikan secara sederhana. Aku tidak tahu
adikku pergi kemana. Kumulai hariku, mengumpulkan tekad untuk menyusul
mereka, mengumpulkan tekad untuk sekali lagi menaiki tembok itu. Dan pergi ke
atas menyusul ibu, ayahku, dan adikku yang sekarang entah dimana.
~think it twice
Aris Lazuardi
No comments:
Post a Comment