Friday, August 22

ANAK TROTOAR

ehm...
ini salah satu cerpenku...
yang... pernah masuk majalah sekolah...
ga tau si bagus apa ngga...
tapi yah... biar kalian juga baca... dan kasi kommentnya lewat fs...
kalo jelek, aku nyerah nulis dah... hahaha

well, ini dia...


Anak Trotoar

Jam di perempatan Suci tempatku tinggal, menunjukkan pukul 7 pagi. Sudah

banyak kendaraan yang melintas dari tadi. Asap kendaraanlah yang

membangunkanku dari mimpiku yang bisa dibilang indah, untuk seorang

gelandangan sepertiku yang tidur beralaskan trotoar. Trotoar, bukan ranjang seperti

yang ada dalam mimpiku tadi. Sedikit mimpi bisa membantuku kembali

bersemangat menjalani hari. Dulu aku pernah ingin mencoba bunuh diri, setelah aku

merasa tak kuat lagi menanggung semua beban. Tapi aku ingat akan perkataan

kedua orang tuaku, di hari mereka pergi meninggalkanku. Aku tidak lahir dari batu,

aku pernah punya orang tua, meskipun hanya 8 tahun aku merasakannya.



Sebelum aku meneteskan lagi air mataku, aku memutuskan tidak mengingat

lagi kejadian itu, aku ga mau trotoar ini basah karena air mataku. Maklum, trotoar ini

rumahku yang ga mau aku kotori. aku juga pernah punya rumah. Rumah yang tidak

terlalu besar, tapi cukup untuk ditinggali keluargaku yang jumlahnya 4 orang. Bapak,

ibu, aku, sama adikku. Hingga suatu hari sang jago merah melahap semuanya

sampai tidak tersisa barang setitikpun. Tapi, jangan pikir kedua orangtuaku mati

dalam kejadian itu. Kami semua baik-baik saja, hanya ibuku yang sedikit bermasalah.

Semenjak hari itu, ibuku ngotot minta kembali ke kampungnya di Kintamani. dia

tidak kuat hidup susah di kota. Maklum, ibuku dibesarkan oleh kakekku dengan

berkecukupan. kakekku adalah seorang pemuka adat di desanya, sedangkan

keluarga ayahku hanyalah petani buruh yang bekerja mengerjakan sawah keluarga

ibuku. Entah mengapa, ibuku jatuh cinta dengan ayahku. Saat mereka berdua

menikah, banyak orang di kampung meremehkan ayahku, mereka ragu ayahku bisa

menghidupi ibuku yang dari kecil hidupnya sudah enak. Didorong akan hal itu,

ayahku langsung mengajak ibuku tinggal di kota. Ayah berhasil kerja di perusahaan

pengiriman barang dan menduduki jabatan yang cukup penting di perusahaan itu.

Satpam.




Ayahku memberikan izin pada ibuku untuk kembali ke kampungnya, karena

ayahku juga merasa tidak kuat lagi tinggal di kota ini. Ayahku mengantarkan ibuku

kembali ke Kintamani, sedangkan aku dan adikku ditinggal di motel yang disewa

ayahku selama 2 hari. Sebelum berangkat, ayahku berpesan kepadaku untuk selalu

menjaga adikku dengan baik.




Aku sudah keluar dari motel itu, diusir. Sudah 7 hari aku menungggu

kedatangan ayahku. Aku bingung enggak tau harus ngapain waktu itu. Aku jalan aja

sama adikku pergi ke jalan Gajah Mada. Lapar. Aku minta-minta sama orang yang

aku liat bawa makanan. Aku ceritain sama mereka apa yang aku ama adikku alami.


Cuma sedikit yang ngasi aku uang. Tapi lumayan, buat ngisi perutku ama adikku.

Sekedar nyari kerjaan, aku liat kiri kanan. Ada Koran bekas yang masih bagus buat

dibaca. Sambil setengah nangis, aku baca lembar per lembar, artikel per artikel.

Sampai aku ngelihat nama ayahku dipampang di Koran itu,” ditemukan meninggal

karena bunuh diri bersama istrinya di daerah sekitar Kerobokan, Denpasar.”





Rumahku yang berada di kawasan Kerobokan memang telah hancur terlalap

api, entah kenapa ayahku ingin mengakhiri hidupnya disana. Mungkin bagi ayahku,

rumah itu memiliki kenangan yang sangat dalam. Tapi sedalam apa kenangan itu


sehingga ayahku tega meninggalkan aku dan adikku sendirian di dunia ini. Aku

menaiki tangga di pasar Badung dan aku melihat sudut kecil yang mungkin cukup

untuk kutinggali bersama adikku. Memang, pas sekali buatku dan adikku. Saat

kutengok ke bawah, aku melihat aliran sungai tukad Badung yang cukup deras. Ingin

sekali aku meloncat ke bawah sana dan merasakan pemandangan terakhir sebelum

mati. Tanpa sadar, kakiku sudah menaiki tembok dan bersiap meloncat. AKU

BENAR-BENAR INGIN LONCAT. Suara aliran sungai yang deras membuat

jantungku semakin cepat berdetak. Tinggal satu langkah, dan aku akan menemui

ayah dan ibu. Lama aku berpikir. Sudut pasar badung ini benar benar sempurna,

tidak ada yang bisa melihatmu saat berdiri di tembok ini, karena didepanku ada

terpal yang menutupi sudut ini agar tidak panas saat siang hari. Aku turun dari

tembok itu. Kembali aku sadar bahwa aku tidak sendirian, aku harus menjaga

adikku.



Sekarang, pagi ini, adikku sudah tiada, dia pergi entah kemana. Terakhir aku

melihatnya ditabrak mobil, dan dikremasikan secara sederhana. Aku tidak tahu

adikku pergi kemana. Kumulai hariku, mengumpulkan tekad untuk menyusul

mereka, mengumpulkan tekad untuk sekali lagi menaiki tembok itu. Dan pergi ke

atas menyusul ibu, ayahku, dan adikku yang sekarang entah dimana.
------------------------------------------------------------------------------------------------

~think it twice
Aris Lazuardi


No comments: